BUDAYA JAWA MENANGIS DI SIMPANG JALAN

I.     ABSTRAK
Bila suatu bangsa diibaratkan pohon dan budaya adalah akarnya. Sedangkan kalau pohon itu dicabut beserta akarnya, setelah itu ditanam kembali dengan keadaan tanpa akar atau diganti dengan akar lain, pasti pohon tersebut tidak akan tumbuh dengan sempurna  atau bahkan akan layu dan mati.
Ki Hadjar Dewantara :
“Dan pertjajalah, saudaraku semua, selama kita merendahkan bahasa kita, seni kita, keadaban kita,  djanganlah kita mengharap akan dapat mendjauhkan anak-anak kita dari keinginannya  hidup seperti Belanda-polan. Sebaliknya kalau anak-anak kita dapat kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar djiwanya bersifat nasional dan mereka itu dapat kembali dan memegang kultur bangsa awak, jang sedjak  abad jang lalu sudah tidak hidup lagi dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam penghambaan, pertjajalah bahwa mereka itu akan merasa puas  sebagai anak Indonesia”. Dan kalau kita sudah membangkitkan pula hidup kebangsaan kita, tentulah alat-alat penghidupan asing yang berfaedah  sadjalah jang kita ambil. Karena kita tidak lagi mabuk cinta, dan peribahasa “Cinta itu buta” tidak lagi mengenai diri kita. Akhirnya kita lalu dapat memilih dengan fikiran dan rasa yang jernih.

II.     PENDAHULUAN
Guru (+)    :           Selamat Siang, anak – anak !
Siswa (-)   :           Selamat Siang, Pak/Ibu Guru !?
Guru (+)    :           Sekarang buka buku kalian, kita mulai pelajaran bahasa Daerah (Jawa) !
Siswa (-)   :           Ya, Pak/Ibu Guru !?

Ucapan diatas dulu hanya terjadi saat Guru mengajar pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran lain, dimana bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar  diberbagai lembaga pendidikan. Tetapi kondisi proses belajar mengajar untuk bahasa Daerah atau bahasa Jawa pada masa sekarang ini, tidak jauh dari gambaran tulisan diatas atau barangkali kondisi tersebut sudah betul – betul terjadi dewasa ini, dalam proses belajar mengajar mata pelajaran bahasa Daerah atau bahasa Jawa memakai pengantar bahasa Indonesia.
Kondisi tersebut diatas bisa terjadi dikarenakan berbagai faktor  sebab-akibat yang saling terkait bagaikan mata rantai yang tak pernah putus, atau barang kali sangat cocok kalau digambarkan mirip benang ruwet yang masuk di kubangan lumpur. Sehingga kita sangat kesulitan untuk menemukan ujung dan pangkal dari benang ruwet atas permasalahan mengapa budaya Jawa maupun bahasa Jawa semakin rusak dan luntur pemakaiannya pada etnis pendukung atau masyarakat  penuturnya. Seperti halnya kondisi hajat besar Konggres Bahasa Jawa yang kita bangga – banggakan, yang konon menghabiskan biaya milyaran rupiah serta didukung tiga pemerintah propinsi, bahasa pengantarnya memakai bahasa Indonesia. Sedangkan realisasi dan sosialisasi dari hasil keputusan Konggres Bahasa Jawa masih perlu kita pertanyakan. Entah itu dilembaga pendidikan maupun pada penutur bahasa Jawa dikalangan masyarakat umum atau di lingkungan lembaga atau instansi  pemerintah maupun lembaga atau instansi swasta. Dalam Konggres Bahasa Jawa III di Jogjakarta tahun 2001, ada suatu wacana ( kalau tidak salah, malah menjadi Hasil Keputusan Konggres) kalau akan ada Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Daerah (Jatim, Jateng dan DIY) yang mengatur dalam satu minggu hari kerja, satu hari memakai bahasa Jawa secara resmi, dan untuk penerimaan siswa baru (PSB) yang akan masuk sekolah akan diuji kemampuan bahasa Jawanya, kecuali siswa dari luar daerah atau siswa yang bukan keturunan Jawa diberi dispensasi, karena hal ini bisa menjadi suatu tolok ukur mengenai tingkat tata krama maupun budi pekerti seorang siswa. Sementara di era otonomi daerah saat ini sangat memungkinkan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) semacam ini. Sehingga kalau melihat fakta yang ada bisa dikatakan, Konggres Bahasa Jawa hanya sekedar kegiatan seremonial atau formalitas belaka selama satu minggu pelaksanaan Konggres, yang tidak komprehensif serta tidak konkrit kelanjutannya, sementara pengaruh di masyarakat etnis Jawa khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya tidak signifikan atau bahkan tidak ada pengaruhnya sama sekali. Bila kita tidak percaya, silahkan dicek pada masyarakat umum, khususnya masyarakat pedesaan maupun para pelaku atau aktivis pelestari budaya Jawa. Kalau dihitung secara persentase banyak diantara mereka tidak tahu-menahu soal Konggres Bahasa Jawa, karena tidak berpengaruh sedikitpun pada aktivitas mereka. Apalagi kalau mau ikut Konggres biayanya tidak sedikit, walaupun pada Kongres Bahasa Jawa IV biaya pendaftaran gratis tetapi bagaimana dengan biaya lain-lain (akomodasi, transportasi, telpon interlokal pada waktu mendaftar, dll) belum lagi prosedur pendaftaran yang cukup ruwet. Maklum ditangani lewat jalur birokrasi, sementara sistem pelayanan birokrasi di Indonesia pada umumnya persis yang dikritik oleh iklan sebuah produk rokok di Televisi  “Kalau Gampang, Kenapa Dibikin Susah ?”. Akhirnya masyarakat kita terdorong untuk bersikap “Jalan Pintas Dianggap Pantas, Kenapa ?”      Tetapi nampaknya konggres tinggal konggres, sementara bahasa maupun budaya Jawa tetap merana dan menangis di simpang jalan. Kalaupun ada yang peduli, itupun seperti berjuang sendiri-sendiri tidak ada dukungan  moril maupun materiil dari pemerintah, sponsor  maupun masyarakat umum selaku donatur, sehingga kadangkala membuat mereka seperti mau putus asa. Sutrimo MP tergerak hatinya menjadi aktivis pelestari budaya Jawa mulai tahun 1995 dengan mendirikan IKKS/PKSM “Raket Prasaja”, pada tahun 1999 mendirikan Yayasan “Raket Prasaja”, mulai tahun 1998 mengisi acara dialog interaktif ilmu pengetahuan budaya Jawa diberbagai radio di Malang (TT 77, Andalus, Kosmonita, RSPD Kanjuruhan, RRI Protiga), pada dua tahun terakhir juga mengisi di stasiun Televisi (Batu TV, JTV). Saat ini hampir di seluruh kecamatan di Malang Raya ada Pengurus Korwil Yayasan “Raket Prasaja”. Dari berbagai kegiatan tersebut mengeluarkan biaya operasional setiap bulan antara Rp.1.500.000,- sampai Rp. 2.000.000,- semua itu dari kantong pribadi, karena cari donatur dan sponsor sangat sulit. Sedangkan dari masyarakat umum sering salah paham, malah ada beberapa orang yang mengambil sesuatu dari Yayasan tidak mau membayar (Kaos, Kalender, Buku, dll) padahal sesuatu itu berawal dari uang pribadi, mereka menganggap Yayasan “Raket Prasaja” mendapat fasilitas atau dana dari stasiun Radio dan Pemerintah. Ketika ekonomi Sutrimo pribadi membaik (1995-2001) semua terasa enjoy, tetapi ketika ekonomi Sutrimo pribadi memburuk (2001-2006) hampir saja membuat Sutrimo putus asa untuk terus beraktivitas melestarikan budaya Jawa. Sementara, tidak jarang ada oknum-oknum pejabat pemerintah yang sengaja atau tidak, malah cenderung  mempersulit atau menghalangi langkah atau kegiatan suatu lembaga / pribadi yang ingin mengadakan kegiatan pelestarian budaya Jawa dan sejenisnya. Pernah ada dua kali peristiwa yang dialami Yayasan Raket Prasaja sebuah lembaga pengkajian, pelestarian dan pengembangan budaya Jawa  yang secara keorganisasian berazaskan UUD 45 dan Pancasila, suatu saat ketika mengadakan kegiatan di suatu desa, diintimidasi dan diindoktrinasi oknum Kepala Desa (Lurah) untuk berganti azas pada suatu agama tertentu. Pada waktu itu oleh Ketua Yayasan Raket Prasaja sudah dijelaskan mengenai AD/ART organisasi yang salah satu pasal disebutkan kalau Yayasan Raket Prasaja bukan organisasi keagamaan dan bukan organisasi aliran kepercayaan, tetapi oknum Kepala Desa tersebut dengan arogan mengacau acara tersebut, sehingga kegiatan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.  Kalau melihat dua peristiwa yang dialami Yayasan Raket Prasaja di Malang tersebut, selain peristiwa tersebut Ketua Yayasan Raket Prasaja sering mendapat berbagai teror dan ancaman, sehingga bisa dibayangkan alangkah berat dan menyedihkan perjuangan dalam pelestarian budaya Jawa.            
Awalnya penulis beranggapan kalau kondisi rusak atau lunturnya pemakaian bahasa Jawa hanya terjadi disekitar tempat tinggal penulis di daerah Malang, Jawa Timur. Tetapi ketika penulis mencoba mengamati lebih seksama sambil bekerja sehari –hari, karena kebetulan pekerjaan penulis selalu berinteraksi sosial dengan banyak orang dari berbagai kalangan atau tingkatan status sosial, serta keluar masuk desa atau kota di berbagai daerah di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah maupun Bali. Selain itu penulis kebetulan juga berasal dari Sragen, Jawa Tengah dan sampai sekarang orang tua maupun kerabat masih tinggal di sana, sehingga minimal satu tahun sekali penulis pulang kampung dan berinteraksi dengan masyarakat di Sragen, Jawa Tengah. Penulis juga pernah tinggal di desa Watu Sigar, Gunung Kidul. Jogjakarta kurang lebih dua minggu.
Ternyata kondisi rusak atau lunturnya pemakaian Bahasa Jawa bisa dikatakan hampir terjadi di seluruh daerah Jawa Timur, Jawa Tengah maupun daerah Istimewa Jogjakarta. Rusak atau lunturnya pemakaian bahasa Jawa dialami pada berbagai kalangan atau tingkatan status sosial masyarakat. Malah ada beberapa fakta yang mendukung suatu pendapat atau pernyataan “semakin tinggi status sosial – ekonomi & pendidikan atau status sosial – spiritual, semakin tinggi tingkat kerusakan atau lunturnya pemakaian bahasa Jawa”. Sementara kalau dari sisi usia penutur, kondisi kerusakan atau lunturnya pemakaian bahasa Jawa sangat beragam,  sehingga  tidak ada kepastian atau tolok ukur tertentu kalau “semakin tua usia penutur, semakin baik penguasaan atau penuturan bahasa Jawanya”.
Kalau dilihat sekilas akibat dari rusak atau lunturnya pemakaian bahasa Jawa, barangkali yang terpikirkan oleh kita hanyalah hilang atau matinya bahasa ibu. Seperti yang disinyalir  oleh UNESCO, kalau setiap tahun enam sampai sepuluh bahasa Ibu di dunia hilang atau mati. Karena sudah tidak terdukung oleh etnis yang menjadi pendukung dan penuturnya.
Seperti halnya ketika penulis menjadi pembicara di berbagai kesempatan entah dalam pertemuan langsung maupun dalam dialog interaktif  di media elektronik di beberapa stasiun radio dan stasiun televisi lokal di Malang. Ketika berbicara budaya atau bahasa Jawa asumsi masyarakat umum hanyalah bahasa, sastra, seni budaya dan tata krama. Seperti halnya yang menjadi maksud diadakannya Konggres Bahasa Jawa, seperti yang tertulis pada buku panduan pemakalah Konggres Bahasa Jawa IV tahun 2006 BAB I alinea 4. Karena pemikiran  yang sederhana itulah, menjadi salah satu sebab mengapa bahasa Jawa  jadi terpuruk, luntur dan  tidak       dapat perhatian dari etnis pendukungnya sebagai penutur khususnya generasi muda. Karena generasi muda saat ini tidak begitu menyukai  “tata krama” dan berbagai seni budaya Jawa.
Beberapa kalangan pengarang sastra Jawa berpendapat , kita tidak perlu risau dan cemas akan nasib bahasa Jawa, karena bahasa Jawa pasti akan tetap ada, hanya saja berubah bentuk. Bahasa  Jawa kuno/kawi, bahasa Jawa madya, bahasa Jawa anyar dan nanti menjadi bahasa “Jawa Modern”. Pendapat atau pemikiran ini tidak salah, karena hanya berdasarkan pada sisi  bahasa dan sastra, tetapi bagaimana dengan masalah “Transformasi Budaya”  yang di dalamnya berisi berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi….? Barangkali yang terjadi adalah terpuruknya bangsa ini. Karena seperti yang kita ketahui dalam sejarah,  dari Jawa Kuno (Kawi)  ke Jawa Madya masih ada kesinambungan “Transformasi  Budaya” sehingga bangsa kita masih mencatat prestasi dalam sejarah, karena  perubahan tersebut tidak terlalu jauh. Pada masa pemakaian bahasa Jawa madya (kira-kira abad 13-16), bahasa Jawa Kuno (Kawi) masih banyak atau sering dipergunakan, serta pemahamannya masih kuat. Tetapi ketika perubahan dari bahasa Jawa Madya ke bahasa Jawa Anyar (kira-kira abad 16-20)  nampaknya “Transformasi Budaya”  tidak berjalan dengan baik atau barangkali malah terputus sama sekali, sehingga bangsa kita mengalami keterpurukan dan kehancuran yang amat sangat. Sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi dunia cukup pesat, khususnya dunia Barat yang setelah mengalami masa kegelapan abad 12-13 dan mereka mengalami masa kejayaan mulai abad 16-17 sampai sekarang.   Marilah, hal ini kita kaji dan kita renungkan bersama, mengapa hal ini terjadi ?       
Dalam beberapa kalangan generasi muda yang berfikiran atau berhaluan kanan cenderung akan lebih mempelajari bahasa, sastra bahkan budaya  darimana agamanya berasal, karena sejak awal pemahaman mereka tentang bahasa atau budaya Jawa sangat sederhana, akhirnya mereka menjadi tidak peduli bahkan ada diantara mereka yang memusuhi atau negatif stinking tanpa mau mempelajariterlebih dahulu, karena dianggap bila mempelajari dan melakukan kegiatan budaya Jawa telah menyalahi atau menyimpang dari agamanya,  dan mereka menyerang budaya Jawa dengan istilah agama seperti  bid’ah, syirik atau musyrik. Hal tersebut terdukung oleh berbagai fakta yang dialami langsung oleh penulis :

    • Ketika penulis sedang siaran tentang budaya Jawa di radio dalam kondisi on-air dan acaranya memang bersifat dialog interaktif, ada penelpon gelap yang mengancam atau menteror penulis. Karena dalam posisi on-air jadi didengarkan banyak orang, tapi sayang tidak dalam kondisi direkam sehingga kita tidak bisa melacak dan mengenali suaranya. Tetapi dari kata – katanya, penelpon gelap tersebut seolah – olah mewakili dari salah satu agama di masyarakat kita ini .
    • Ketika anak penulis dimasukkan ke salah satu pondok pesantren untuk belajar mengaji dan belajar agama. Dan suatu ketika penulis selaku wali santri diundang untuk diajak musyawarah di pondok pesantren  tersebut. Dalam kesempatan tersebut pimpinan pondok pesantren berkata pada penulis kalau seluruh santrinya dilarang belajar dan memakai bahasa Jawa, semua harus belajar dan memakai bahasa Arab. Akhirnya penulis menyuruh sang anak agar keluar dari pondok pesantren tersebut, dan akhirnya belajar mengaji pada seorang guru mengaji di sebuah musholla dekat rumah. Sebenarnya dengan belajar dan menguasai bahasa Arab merupakan suatu prestasi tersendiri, tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan bahasa dan budaya bangsa sendiri.
    • Dewasa ini ada pemahaman baru, bila seseorang telah naik haji tidak mau dipanggil bila tidak dengan sebutan Abah dan Umi. Setelah itu namanya dan nama seluruh keluarganya diganti dari nama Jawa dengan nama Arab. Dalam hal ini, penulis pernah didatangi dan disarankan oleh seseorang agar mengganti nama penulis beserta seluruh keluarga, dari nama Jawa menjadi nama Arab dengan alasan biar nanti masuk surga.  Dalam hal ini, seolah- olah menurut pemahaman mereka kalau surga sudah dikavling-kavling untuk golongan mereka saja, tidak untuk golongan lain.
    • Bila kita cermati berbagai tayangan sinetron di berbagai stasiun televisi, seringkali kita melihat disana ada peran antagonis (nama, pakaian, atribut, logat bicara,dll) yang berciri-khas budaya Jawa, tetapi yang menjadi peran protagonis  (nama, pakaian, atribut, dll) berciri-khas agama tertentu. Secara tidak langsung efeknya sangat negatif untuk budaya Jawa, karena  akan menimbulkan suatu asumsi atau opini di masyarakat umum kalau budaya Jawa itu negatif yang harus dijauhi, dibenci, dimusuhi dan dibuang jauh. Disini nampaknya orang Jawa terlena sehingga tidak ada yang protes sedikitpun, karena mereka sudah tidak ada kepedulian terhadap budaya Jawa. Tetapi kita bisa sedikit bersyukur, karena ketika Yayasan Raket Prasaja berkirim surat ke Bapak Susilo Bambang Yudoyono selaku presiden Indonesia, mengenai penayangan sinetron yang mendiskreditkan budaya Jawa, Bapak Presiden yang diwakili oleh Bapak Sardan Marbun memberikan respon positif pada surat Yayasan Raket Prasaja tersebut. Tetapi berbagai lembaga lain yang dikirimi surat serupa oleh Yayasan Raket Prasaja seperti: MUI, Komnas HAM, stasiun televisi nasional (TVRI &  swasta) dan DPR semua tidak ada tanggapannya. Seharusnya kalau peran antagonis berciri-khas budaya Jawa, yang menjadi peran protagonis juga harus  berciri-khas budaya Jawa. Ciri khas budaya Jawa itu meliputi : gaya bicara, pakaian, nama maupun atribut lainnya (ikat kepala atau Blangkon, Keris, Prapen Dupa, dll), karena dalam budaya Jawa, begitu juga dalam budaya lain didunia ini pasti ada dan mengenal  “White and black character” atau barangkali malah “Global character in Javanese culture”.  Begitu juga sebaliknya, kalau peran protagonist berciri-khas agama tertentu (nama, pakaian, atribut, dll)   seharusnya pula peran  antagonis  juga berciri – khas dari umat agama tersebut. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau  semua ajaran dari agama apapun pasti baik, tetapi umatnya ada juga yang berkarakter negatif atau sesat. Karena kalau pembuatan dan penayangan sinetron tersebut tidak dihentikan, akan sangat berakibat fatal dalam pelestarian budaya Jawa sebagai salah satu budaya bangsa yang menopang  terbentuknya “National Character  Building”  bangsa Indonesia.

    Selain itu, bila dicermati penayangan sinetron ini merupakan pelanggaran HAM berat, karena efeknya adalah merupakan pembunuhan  “Character in Javanese Culture”.  Karena terjadi pembentukan opini publik dan asumsi di masyarakat, kalau apaun yang terkait dengan budaya Jawa itu sesuatu yang negatif, yang harus dijauhi, dibenci, dimusuhi dan dibuang jauh. Sehingga secara tidak langsung berakibat  :

        • Jutaan orang Jawa dan orang yang memakai budaya Jawa, akan merasa tersisih serta tidak nyaman dalam kehidupannya, karena dianggap negatif oleh masyarakat. Apakah ini bukan termasuk pelanggaran HAM berat, karena telah menyengsarakan jutaan atau bahkan puluhan juta orang  suku Jawa atau orang yang memakai budaya Jawa, walaupun tidak dalam arti semua orang suku Jawa, minimal mereka yang masih konsisten dengan budaya Jawa dan jumlahnya masih puluhan juta.
        • Banyak generasi muda yang tidak mencintai lagi budaya bangsanya. Padahal  budaya bangsa adalah merupakan         jati diri dari suatu bangsa. Sedangkan bangsa yang besar adalah  bangsa yang punya jati diri (contoh: Cina, Jepang, Inggris dll). Sementara diakui atau tidak, keterpurukan bangsa Indonesia  saat ini salah satu  sebabnya adalah  mulai luntur  atau hilangnya  jati diri bangsa, banyak diantara kita  yang berperilaku “orang Jawa yang tidak Jawa, orang Indonesia  yang tidak Indonesia”.
        • Dan masih banyak lagi efek-efek negatif lainnya akibat penayangan sinetron tersebut, yang untuk sementara  ini belum bisa terdeteksi.

        Dikarenakan akibat penayangan sinetron tersebut sangat fatal dan merupakan pelanggaran HAM berat, kami mohon semua pihak untuk ikut bertindak  menghentikan  kegiatan pembuatan dan penayangan sinetron yang peran “antagonis” lekat dengan ciri khas budaya Jawa tersebut.

          • Dalam acara “Bincang Santai dengan Dewi Fortuna Anwar” di Rumah Baca Cerdas, Malang pada tanggal 29 Nopember 2005. ketika menanggapi pertanyaan penulis soal  kebobrokan demokrasi terkait dengan hilangnya jati diri dan budaya bangsa, ternyata pemikiran Dewi Fortuna Anwar mengenai budaya bisa dibilang  sangat sederhana dan sempit, malah beliau mengatakan kalau bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya sendiri kecuali animisme.         
          • dll.

          Sebenarnya masih banyak pengalaman – pengalaman lain yang serupa, tetapi rasanya tidak etis bila ditulis semua di sini. Karena pada dasarnya tidak semua  umat beragama bersikap dan berfikir seperti itu, serta tidak semua pondok pesantren punya prinsip seperti itu. Disini nampaknya  ada suatu pergeseran pemahaman nilai – nilai agama dewasa ini. Semoga pengalaman tersebut (no. 1 – 3) hanya dialami penulis dan di tempat tinggal penulis saja.
          Pada sisi lain banyak generasi muda yang berhaluan kiri berpandangan kalau mempelajari bahasa atau budaya Jawa dianggap kuno, ketinggalan zaman dan tidak bisa untuk mencari materi  yang ujung – ujungnya pada status sosial – ekonomi. Apalagi pada waktu pendaftaran dan penerimaan PNS kemarin ada beberapa (barangkali banyak) sarjana sastra Jawa yang sudah berstatus guru honorer tidak terekrut menjadi menjadi guru berstatus PNS. Berbeda dengan mereka yang menguasai bahasa asing ( Inggris, Prancis, Jerman, Mandarin, dll ) mereka begitu cepat mendapatkan pekerjaan. Sedangkan yang sudah berstatus guru honorer bisa bernafas lega karena terekrut menjadi guru berstatus PNS. Begitu juga dengan berbagai perusahaan ketika membuka lowongan kerja, diantara sekian persyaratan tertulis harus menguasai bahasa asing ( Inggris, Mandarin, dll ) entah aktif atau pasif. Sehingga para orang tua, mulai anaknya di bangku sekolah lebih suka dan bangga kalau anaknya pandai bahasa Inggris dan mendapat nilai bagus. Tetapi kalau anaknya tidak bisa bahasa Jawa dan nilainya jelek, para orang tua tidak sedih atau prihatin. Karena hal ini mereka anggap biasa saja, yang tidak perlu dicemaskan pada perkembangan sang anak.
          Sementara disisi lain karena kurangnya atau tidak tersedianya guru bidang studi bahasa Jawa menambah semakin merosotnya kualitas pelajaran bahasa Jawa di bangku sekolah. Karena banyak ditemukan fakta di sekolah – sekolah yang mengajar bahasa Jawa bukan guru bidang studi bahasa Jawa tetapi guru yang jam mata pelajarannya sedikit. Sementara guru tersebut tidak menguasai materi bahasa Jawa. Selain  tidak menguasai materi , kadangkala guru tersebut mau mengajar dengan perasaan  terpaksa. Karena dengan hati terpaksa, jelas secara psikologi mempengaruhi situasi dan kondisi proses belajar mengajar menjadi kurang sehat. Sedangkan pada sisi lain, banyak pendapat yang menilai kalau kurikulum bahasa Jawa  di sekolah kurang terarah dan tidak aplikatif. Sehinggamengakibatkan siswa semakin jauh dan membenci bahasa Jawa , karena siswa menganggap mata pelajaran bahasa Jawa itu sulit dan membosankan, apalagi kalau sang guru mengajar dengan terpaksa, akhirnya yang menjadi sasaran kejengkelannya adalah siswa.   
          Dalam pergaulan anak muda sekarang ini,  ketika salah satu temannya mempelajari atau menguasai bahasa dan budaya Jawa dianggap kuno dan ndesani, tetapi kalau salah satu temannya mempelajari atau menguasai bahasa asing dianggap keren, modern  dan seolah-olah status sosialnya setingkat lebih tinggi. Begitu juga dalam  berbagai pertemuan, seminar dan lain sebagainya. Ketika Pembicara memakai kata – kata atau istilah asing, audiens menganggapnya lebih keren, modern dan pandai.  Sehingga banyak Penulis atau Pembicara yang sengaja atau tidak sengaja menyelipkan (memakai) kata-kata / istilah asing, walapun kadang kala dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Jawa ada kata / istilah yang artinya sama.
          Dikarenakan adanya pandangan – pandangan tersebut dalam masyarakat membuat “ Bahasa Jawa Menangis Di Simpang Jalan “. Karena rasa – rasanya saat ini bahasa Jawa bagaikan ditinggal atau bahkan di buang dipinggir jalan oleh etnis yang menjadi pendukung dan penuturnya, khususnya generasi muda. Sementara di depan terpampang  persimpangan jalan yang sama – sama pilihan pahit, sehingga membuat kondisi bahasa Jawa meratap dan menangis di simpang jalan.
          Haruskah kita sebagai generasi muda (Jawa) diam saja dan menelantarkan bahasa Jawa. Ataukah kita malah meninggalkan bahasa Jawa di pinggir jalan dan kita lebih memilih jalan arah ke kanan karena alasan status sosial – spiritual, atau kita memilih jalan arah ke kiri karena alasan status sosial-ekonomi . Setelah itu kita ucapkan “ selamat tinggal bahasa Jawa, budaya Jawa dan bangsa Indonesia “. Karena kita menjadi bangsa yang tidak mempunyai identitas atau jati diri, kita menjadi orang Jawa yang tidak Jawa, kita menjadi orang Indonesia yang tidak Indonesia. Seperti  yang dikawatirkan oleh Ki Hajar Dewantara, seperti Penulis kutip diatas. Budaya adalah merupakan suatu jati diri dari suatu bangsa, kalau diibaratkan pohon adalah akarnya. Bisa kita bayangkan bagaimana bila suatu pohon (bangsa) dihilangkan akarnya (budaya) setelah itu diganti dengan akar (budaya) dari pohon (bangsa) lain, pastilah pohon (bangsa) tadi jadi layu atau bahkan mati.

          III.     BAHASAN INTI
          Sekarang mari kita lihat secara proporsional dan profesional apa yang dimaksud Bahasa Jawa. Diibaratkan ada sebuah “Rumah Besar” yang disebut “Budaya Jawa”, di dalam rumah tersebut berisi berbagai perabotan atau peralatan yang sangat berguna serta bermanfaat untuk kehidupan manusia. Sedangkan perabotan atau peralatan itu antara lain :

            • Adat dan Tradisi.
            • Falsafah dan Religie.
            • Seni Budaya dan Tehnologinya.
            • Ilmu  Kesehatan : termasuk disini ilmu Kedokteran, ilmu kebidanan dan Ilmu Anatomi.
            • Ilmu pengetahuan dan tehnologi pertanian.
            • Ilmu Bangunan /Arsitektur : termasuk disini ilmu tata letak ruang (fengshui).
            • Ilmu Astronomi / Astrologi : termasuk disini ilmu mencari hari baik (hongshui).
            • Ilmu Olah Raga.
            • Ilmu Jiwa / Psikologi.
            • Ilmu Pemerintahan.
            • Ilmu Pengetahuan Senjata.
            • Dan masih banyak lagi ilmu pengetahuan dan teknologi lain yang sangat berguna serta bermanfaat untuk kehidupan manusia.

            Sementara untuk masuk kedalam rumah tersebut ada pintunya, pintu itu disebut “Bahasa Jawa”. Kalau saja segala peralatan dan perabotan dalam “Rumah Besar”  ( budaya Jawa ) yang berupa berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut telah dikenal dan sangat bermanfaat dalam segala lini kehidupan, pastilah seluruh dunia akan mempelajari bahasa Jawa.  Tetapi yang harus kita ingat, kalau ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam budaya Jawa masih terbungkus rapi, sehingga kita harus mengupas,  mengkaji dan menyelaraskan dalam kehidupan terlebih dulu. Karena dalam budaya Jawa penuh dengan “Sasmita, Pralambang dan Simbol”, dan  nampaknya hal ini seperti disengaja oleh nenek moyang kita, supaya anak-cucunya menjadi manusia pandai, kritis, rasional dan kreatif. Nenek moyang kita tidak mau menyuguhi atau meninggalkan sesuatu yang tinggal telan (instant) dan tidak rasional, tetapi semua budaya Jawa pasti kasunyatan & tinemu ing nalar. Kalau sekarang banyak diantara kita yang asal dan langsung telan, setelah terasa pahit terus dimuntahkan dan dibuang (budaya Jawa), ini salah siapa. Tetapi setelah dikupas, dikaji, diselaraskan dan diterapkan pada kehidupan manusia, serta menjadikan  manusia dalam kehidupannya ada ketergantungan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut. Pastilah yang terjadi  tidak hanya orang Jawa saja yang akan mempelajari  dan menggunakan bahasa Jawa, tetapi bisa seluruh bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia akan mempelajari  dan memakai bahasa Jawa.
            Sekarang mari kita telusuri, apakah dalam budaya Jawa ada berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta mulai kapan dan apa sebabnya terjadi putusnya “Transpormasi budaya Jawa” beserta Ilmu pengetahuan dan tehnologinya ?

            • Ir. Sri Mulyono dalam bukunya “ Wayang, asal – usul, Filsafat dan masa depannya “. Penerbit PT. Gunung Agung. Jakarta 1978.

            Menulis kalau wayang asli budaya Jawa dan  sudah ada mulai  1500 tahun sebelum Masehi. Jauh sebelum orang India dan agama Hindu / Budha masuk di tanah Jawa pada abad ke- 4. Bila kita kaji, selain wayang termasuk seni budaya, didalam wayang banyak kita temukan berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi. Antara lain :

              • Ilmu pengetahuan dan tehnologi sinematografi, antara gerak, sinar dan bayangan.
              • Ilmu pengetahuan dan tehnologi senjata, mulai senjata penghancur massa sampai senjata peluru kendali.
              • Ilmu pengetahuan dan tehnologi Transportasi & Komunikasi, mulai transportasi konvensional, komunikasi telepati  dan komunikasi (mesin) antar waktu.
              • Ilmu pengetahuan kesehatan dan pengobatan,  mulai ilmu kebidanan sampai ilmu anatomi. Contoh : cerita wayang tentang Rahwana ternyata setelah dikaji merupakan ilmu pengetahuan  tentang rahim dan janin.
              • dll.

              Selain itu, dalam buku tersebut juga disisipkan  dari suatu sumber  Dra. Satyawati Suleiman. Coucise Ancient History of Indonesia hal. 1. “About 1.500.000 years ago Indonesia was already populated by one of earliest  type of man namely by PITHECANTHROPUS ERECTUS. Hal ini juga merupakan suatu bukti kalau nenek moyang kita dan peradabannya termasuk yang tertua di dunia ini . Terkait dengan hal ini ada suatu perkiraan yang cukup menarik, yaitu : “bisa-bisa manusia pertama di bumi ( Nabi Adam ) adalah orang Jawa”. 

              • Soeprapto Nitiharjo dalam bukunya “ FILSAFAT HA NA CA RA KA” penerbit  PT. Tiara Wacana Yogya. Tahun 2001. ditulis di buku tersebut kalau huruf jawa sudah ada sejak tahun 911 SM. Penciptaan huruf jawa berdasarkan asal muasal kehidupan dan asal muasal alam semesta. Di dalam budaya Jawa hal tersebut lebih dikenal dengan istilah  “Sangkan Paraning Dumadi  dan Sangkan Paraning Bawana”. Dalam hal perjalanan spiritual, nampaknya bangsa kita bisa dibilang cukup stabil tidak mengalami pasang surut yang berarti, seiring dengan muncul dan perginya seorang utusan Tuhan. Karena pengetahuan dan pengalaman spiritual yang cukup stabil inilah yang menjadikan modal dasar mengapa ketika ada agama / spiritual dari luar masuk ke tanah Jawa tidak ada pergolakan, permusuhan apalagi pengusiran terhadap pengaruh atau pelaku penyebaran agama/ spiritual tersebut. Tetapi pada sisi lain menjadikan generasi kita tidak mampu membedakan mana budaya Jawa dan mana budaya agama pendatang, termasuk budaya bangsa pembawa (asal) agama  tersebut. Seperti saat ini beredar pendapat dari beberapa kalangan umat beragama dari salah satu agama yang ada di Indonesia ini beranggapan kalau wayang, gamelan dan tari jawa dianggapnya budaya Hindu, sehingga ada sebagian kalangan yang mengharamkannya. Padahal kalau kita telusuri gamelan, wayang dan tari jawa itu  adalah asli budaya Jawa, bukan budaya Hindu maupun budaya Budha. Dan masih banyak lagi fenomena – fenomena maupun pandangan-pandangan yang beredar di masyarakat yang intinya mereka tidak mampu membedakan mana budaya Jawa dan mana budaya asal agama pendatang (Hindhu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik). Kalau kalender Jawa di mulai dimasa awal  munculnya huruf Jawa ini berarti kalender Jawa sekarang berangka tahun 2916.
              • Buku “ Suro Sebuah misteri “ penerbit Saka Group tahun 1999. Dalam buku tersebut di jelaskan ada upaya penyempurnaan kalender Jawa dan huruf Jawa pada tahun 50 SM serta pada tahun  78 M. Kalender Jawa adalah merupakan produk universal dari  budaya bangsa tidak terkait dengan aliran spiritual/agama apapun. Mengapa  tidak kita coba jadikan kalender Nasional bangsa Indonesia, agar bangsa kita punya ciri-khas atau jati diri  tersendiri seperti Cina dan Jepang. Disini bukan berarti kita mau berfikir sukuisme yang sempit dan inklusif, karena bangsa Indonesia tidak hanya suku Jawa saja. Tetapi, walaupun sesuatu itu dari salah satu suku di Indonesia tetapi kalau memang mendatangkan manfaat dan bisa menjadi suatu kebanggaan nasional mengapa tidak kita akui, kita manfaatkan dan kita miliki bersama , misal : Olahragawan, Negarawan, kekayaan alam, dll. Kedua, coba kita renungkan dan kita kaji darimana asalnya kalender-kalender yang dipakai sekarang ini (Masehi, Caka Hindhu, Hijriah, Imlek, dll). Awalnya kalender-kalender itu dimunculkan dan dipakai hanya oleh sekelompok orang atau suku-bangsa tertentu saja, tetapi karena memang mendatangkan manfaat akhirnya dipakai tidak oleh salah satu Negara saja tetapi bisa dikatakan hampir seluruh dunia memakainya. Sementara itu, diakui atau tidak diakui , tanpa ilmu pengetahuan dan tehnologi  serta tanpa kreatifitas  tidak mungkin hurup Jawa dan kalender Jawa akan tercipta.    
              • DR. Sukmono dalam buku “CANDI BAROBUDUR” penerbit Pustaka Jaya. 1986. Dalam buku tersebut tertulis pada abad  8 bangsa kita mengalami masa kejayaan dan keemasan, dengan bukti banyaknya candi  besar dan megah yang dibangun pada masa itu. Sekarang mari kita renungkan, sangat mustahil bangunan – bangunan yang besar, agung dan megah itu bisa berdiri kalau tidak ditunjang dengan majunya ilmu pengetahuan dan tehnologi (untuk membangun rumah kecil saja kita memerlukan SDM, ilmu pengetahuan dan tehnologi). Kira – kira ilmu pengetahuan dan tehnologi apa yang saja yang mendukung berdirinya suatu pembangunan atau terciptanya suatu maha karya :
              • Ilmu pengetahuan tata  Negara dan pemerintahan  yang stabil. Termasuk disini kondisi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang stabil dan terkendali. Suatu contoh, pembangunan jembatan SURAMADU, sudah berapa puluh tahun ide pembangunan jembatan SURAMADU muncul, sudah berapa kali kita berganti kepala pemerintahan (Presiden), tapi sampai sekarang (2005) pembangunan jembatan SURAMADU belum juga terwujud dengan sempurna. Ini merupakan bukti kalau  kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan  sangat berpengaruh pada suatu pembangunan.
              • Ilmu pengetahuan dan tehnologi bangunan, termasuk disini ilmu rancang bangun/ arsitektur, ilmu kontruksi serta ilmu pengetahuan dan tehnologi lain yang terkait dengan pendirian suatu bangunan. Bila dalam legenda rakyat diceritakan kalau dalam pendirian suatu Candi pasti terkait dengan kesaktian seorang tokoh dan mahkluk goib (tahayul) serta hal – hal lain yang bersifat irasional. Memang benar kata orang pandai (Albert Einsten) “ketika rasio (akal) manusia tidak mampu menjangkau, dia akan mengatakan sesuatu itu irasional” tetapi “kalau rasio (akal) manusia mampu menjangkau , dia akan mengatakan sesuatu itu rasional”. Sedangkan di berbagai kitab suci  tertulis, Tuhan berfirman : “ Kalau saja seluruh air di muka bumi jadi tinta dan seluruh daun  di muka bumi ini menjadi kertas, tidak akan cukup untuk menulis ilmu Tuhan”. Ilmu Tuhan adalah ilmu yang sudah diketahui manusia maupun ilmu yang belum diketahui manusia, yang nyata maupun yang goib, termasuk ilmu  yang terkait dengan Tuhan, manusia dan alam semesta, Theosofi maupun Theology. Semua harus dipelajari manusia untuk kemajuan, kesejahteraan, kedamaian dan kebaikan manusia beserta seluruh alam semesta (Jagad Raya). Dan bagaimanapun juga ilmu pengetahuan dan tehnologi budaya Jawa adalah juga ilmu Tuhan yang harus kita pelajari untuk kebaikan, kemajuan, kesejahteraan dan kedamaian dunia (jagat raya).

              Bagi yang beragama Islam khususnya Penulis merasa diingatkan, dibangunkan dari tidur panjang dan sangat setuju dengan kata – kata tokoh pak Yoga ( Anwar Fuady) dalam senetron “Kiamat Sudah Dekat” di Sutradarai, Dedy Miswar. Alur cerita sinetron tersebut sangat rasional dan menyentuh hati nurani, sampai – sampai presiden Susilo Bambang Yudoyono juga ikut tersentuh hatinya. Pak Yoga berkata “ Apa hak orang Islam masuk surga ? sementara mereka tidak pernah ikut memajukan dan memakmurkan dunia”. Menurut Penulis, kata – kata tersebut juga cocok ditujukan pada orang Indonesia  khususnya orang Jawa, jadi tidak hanya untuk orang Islam saja. Karena selama ini, kita hanya sebagai penonton dan pemakai dari berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi.  Dalam sinetron tersebut juga memunculkan jati diri bangsa, pak Haji (Dedy Miswar) sangat kental dengan nuansa Betawi, mulai pakaian, cara bicara, panggilannya, cara pakaian, atribut, dll. Di sinetron ini Dedy Miswar nampaknya ingin memunculkan kesan bahwa orang Islam di Indonesia tidak harus Arabansi, tetapi tetap mempunyai jati diri dengan budaya bangsanya sendiri. Seperti halnya candi Borobudur (maupun candi lain) bukanlah budaya agama Budha murni, tetapi candi Borobudur adalah merupakan budaya bangsa kita  (Jawa) hanya saja yang membangun adalah orang Jawa yang beragama Budha. Orang Jawa masa itu mampu mempunyai dan mewujudkan jati diri dengan budaya bangsanya sendiri tanpa harus Indiaansi walaupun agama Budha berasal dari India. Kalau suatu budaya berinteraksi dan berakulturasi dengan budaya lain adalah sesuatu yang wajar serta dinamis, tetapi bukan berarti kita harus kehilangan jati diri atau identitas sebagai suatu bangsa yang besar.

              • SDM yang mumpuni dan ahli di bidangnya, mulai :
              • Ahli manajemen
              • Ahli logistic
              • Ahli rancang bangun/ arsitektur
              • Ahli tata ruang
              • Ahli pahat
              • Ahli sastra
              • Para pekerja yang bekerja saling bahu membahu
              • Dan, barang kali masih banyak lagi para ahli dengan tingkat SDM yang tinggi. Karena tanpa didukung SDM yang tinggi tidak mungkin suatu maha karya akan terwujud. Sekarang yang menjadi pertanyaan, berapa populasi bangsa kita waktu itu ?  Dari perkiraan beberapa ahli, diperkirakan populasi bangsa kita waktu itu (abad 8)  ± 50.000 jiwa. Tetapi dengan jumlah populasi yang tidak begitu banyak bangsa kita mampu memcatatkan prestasi 9 keajaiban dunia, sementara bangsa kita saat ini (2005) dengan jumlah populasi ± 200.000.000 jiwa, apa prestasi tingkat dunia yang dicapai bangsa kita ?  Apakah dengan tercatatnya bangsa kita dalam daftar bangsa terkorup di dunia merupakan suatu prestasi ?   Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi bangsa kita dimasa itu (± abad 8) sudah cukup maju. Coba kita bayangkan, seandainya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi terus berkembang pesat sampai sekarang, pastilah banyak penemuan – penemuan ilmu pengetahuan dan tehnologi baru hasil pemikiran bangsa kita, yang mana ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan manusia di seluruh dunia. Kalau hal itu yang terjadi, barang kali saat ini kita tidak perlu repot-repot  mempelajari berbagai  ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam bahasa / istilah asing, seperti saat ini hampir semua ilmu pengetahuan dan tehnologi memakai bahasa atau istilah asing. Karena kalau penemunya bangsa kita (Jawa), pastilah  berbagai ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut memakai bahasa Jawa, dan akhirnya malah seluruh dunia yang mempelajari bahasa Jawa.

              Ada analisa menarik terkait hal ini (ilmu pengetahuan dan tehnologi), ketika Nabi Muhammad bersabda, ”Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Syain”, bisa jadi yang dimaksud negeri “Syain” tersebud adalah  Negeri Syainlendra, dengan pertimbangan :

              • Masa kehidupan yang sama (abad 7).
              • Masa itu Negeri Syainlendra termasuk negeri maju dan terkemuka di dunia.
              • Pada abad 7 di negeri Cina (yang selama ini menjadi perkiraan Ulama) tidak mencatatkan prestasi dunia.

              Tetapi ini baru perkiraan, mengenai kebenarannya perlu di kaji terlebih dahulu. Walaupun demikian tidak ada salahnya kalau perkiraan atau analisa ini kita pakai untuk memotifasi  agar ilmu pengetahuan dan tehnologi budaya Jawa bangkit kembali, toh selama ini  Negeri “Syain” diartikan negeri Cina  juga baru perkiraan.
              Beberapa waktu lalu ada wacana  di berbagai media, agar Perguruan Tinggi tidak begitu mudah memberi gelar “Profesor”  dan kalau perlu gelar  “Profesor” yang sudah disandang orang sebagian dicabut. Bila seseorang yang akan mendapat atau yang sudah  menyandang gelar “Profesor”  tersebut tidak mampu menemukan sesuatu  (ilmu pengetahuan dan tehnologi) yang  bermanfaat dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, jadi  tidak hanya pembacaan “Desertasi Ilmiah”  yang hanya dibacakan di Kampus saja, tetapi tidak “Aplikatif” di kehidupan masyarakat umum. Sebenarnya wacana ini cukup bagus, tapi tidak tahu mengapa wacana ini tidak bersambut atau berkembang, malah sekarang wacana ini hilang sama sekali.    

              •   Kekayaan yang Hilang

              Saat ini karena keteledoran dan kebodohan kita, serta ketidak- mampuan pemerintah melindungi kekayaan alam bangsa ini , menjadikan banyak kekayaan alam kita yang diambil oleh orang (bangsa) lain. Barangkali ketika kita bicara kekayaan alam, yang terbayang di benak kita adalah barang tambang, emas, batubara, minyak bumi, atau yang terbayang pencurian hutan (illegal logging). Tapi yang penulis maksud kekayaan alam disini adalah ilmu pengetahuan dan tehnologi budaya  khususnya dalam budaya Jawa. Dikarenakan kita sebagai pemilik atau pewaris budaya Jawa tidak mau memelihara, malah menelantarkan atau membuangnya, sehingga saat ini banyak ilmu pengetahuan dan tehnologi budaya Jawa yang terpendam, hilang dan akhirnya terlupakan, sehingga saat ini sulit digali atau dilacak kembali.
              Menurut catatan sudah ada beberapa ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam budaya Jawa yang sudah diambil orang, ada yang secara pengakuan karya intelektual (hak patent) sudah dimiliki orang (bangsa) lain, tetapi  minimal  sudah dikaji, diteliti dan akhirnya dimanfaatkan  orang (bangsa) lain. Ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut antara lain :

              • Tempe,  yang merupakan makanan khas dalam budaya Jawa, saat ini yang punya hak patent adalah Jepang. Padahal dalam pembuatan tempe juga ada  unsur  ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena itu tidak semua orang bisa membuat tempe dan dalam membuatnya tidak bisa asal – asalan.
              • Gamelan (Gong),  sebagai sarana penyembuhan. Surabaya Post, Minggu 9 Juli 2000. bagi orang awam karena kesederhanaannya  berfikir barangkali dianggapnya gamelan (gong) hanyalah seperti alat musik lain yang tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Malah ada sebagian orang yang menganggap haram, karena dianggapnya gamelan (Gong) merupakan budaya Hindhu yang bukan agamanya. Tapi bagi sebagian orang yang mau sedikit berfikir, ternyata Gamelan (Gong) adalah alat musik yang mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai oleh  alat musik lain.  Bila kita rasakan, kita nikmati dengan kejernihan hati, perasaan dan fikir, tidak ada unsur kebencian (negative thinking), akan kita rasakan :
                • kalau kita sedang mendengarkan dan menikmati Gamelan (Gong) perlahan – lahan akan dibawanya kita pada suasana hati yang tentram dan damai. Terutama  gendhing – gendhing yang bernada lembut.
                • Tetapi bila kita sedang mendengarkan dan menikmati musik lain hanya mampu membawa hati kita dalam suasana gembira.

              Padahal diakui atau tidak, manusia hidup yang dicari adalah kedamaian, ketrentraman dan kebahagiaan.  Pernah terjadi beberapa waktu lalu di Semarang , karena didasari rasa cinta yang luar biasa terhadap gendhing-gendhing Jawa, khususnya gendhing yang Swarawatinya  Nyi Condro Lukito, ada seseorang yang meninggalkan surat wasiat bila meninggal nanti untuk mengiringi jenasahnya mulai  jenasah masih di rumah sampai menuju pemakaman,  diiringi dengan suara gendhing yang Swarawatinya Nyi Condro Lukito  dari pita kaset  tape recorder. 
              3.   Kerokan. Pada suatu saat teman yang seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang bercerita kalau dirinya diminta mendampingi seorang ahli medis dari Australia yang mengadakan penelitian mengenai kerokan sebagai suatu sarana penyembuhan. Sayangnya, sampai sekarang teman dosen tersebut tidak bercerita bagaimana hasil dari penelitian tersebut. Tetapi semua orang tahu kalau yang dibutuhkan  manusia adalah  O2 (Oksigen) bukan carbon- dioksida (CO2). Sementara fungsi metode Kerokan adalah mengeluarkan Carbondioksida (CO2) dan secara otomatis akan bergantian dengan masuknya Oksigen (O2) kedalam tubuh manusia. Karena ketika manusia sedang sakit, suhu badan mengalami perubahan,dan ketika suhu badan manusia berubah pori – pori kulit mengerut atau menyempit, sehinggga berbagai gas timbal atau Carbondioksida (CO2) tidak bisa keluar dari tubuh. Sedangkan fungsi metode Kerokan adalah membuka pori – pori kulit agar carbondioksida keluar dan terjadi sirkulasi dengan masuknya Oksigen (O2). Setelah Oksigen (O2) masuk mempengaruhi peredaran darah menjadi lancar, sehingga tubuh manusia menjadi segar kembali. Dalam hal ini kita jangan takut kalau dengan Kerokan pori – pori kulit menjadi lebar, karena kulit manusia cukup elastis. Ketika dalam kondisi sakit pori – pori kulit mengerut atau menyempit, sehingga tidak mampu mengeluarkan gas timbal atau Carbondioksida (CO2) dengan wajar dan baik. Dalam kondisi seperti ini manusia kadang kala sulit kentut (buang angin) dengan baik maupun tidak bisa keluar keringat sehat tetapi yang keluar adalah keringat dingin. Sedangkan setelah Kerokan, dan Carbondioksida (CO2) keluar berganti dengan masuknya Oksigen (O2), dan setelah peredaran darah lancar atau normal, perlahan –lahan pori – pori kulit akan berubah normal kembali. Perlu diketahui, ketika tubuh manusia sehat melakukan kerokan tidak akan berfungsi efektif dan kulit tidak memerah sebagai indikator kerokan. Selain itu, pemikiran kita jangan terlalu sederhana hanya dengan sekeping uang logam dan minyak tanah ( balsem) ketika kita bicara soal kerokan. Tetapi yang perlu dikembangkan adalah metode kerokan untuk mengeluarkjan Carbondioksida (CO2) dan terjadi sirkulasi dengan masuknya Oksigen (O2) dalam tubuh, ini adalah ilmu pengetahuan sedangkan peralatan adalah merupakan tehnologi yang harus kita kembangkan atau kita sempurnakan seiring dengan kemajuan zaman.
              4.   Suryo.S. Negoro dalam bukunya “Stadiun Tugu” penerbit Buana Raya, Solo, 2000. menceritakan tentang Oomnya yang Indo dan tinggal di Rotterdam, Belanda. Ketika itu Oom, ikut kursus alternatif Healing (Refleksologi), dalam kursus itu pembimbingnya orang Belanda, sedangkan Guru Besarnya orang Amerika. Kursus alternatif Healing ini selain membuka kursus juga membuka klinik pengobatan. Sedangkan pusatnya di Amerika Serikat dan cabang – cabangnya ada di banyak kota – kota besar di dunia. Bisa kita bayangkan, Guru Besar Ini pendapatannya banyak, kaya,  kerjanya keliling –keliling ketempat – tempat  kursusnya. Orangnya sederhana, dia hanya makan roti yang isinya sayuran, minumnya air putih (Ngrowot) sebelum peserta kursus tamat, dia memberikan pelajaran terakhir. Sesudah itu setiap peserta, secara sendiri – sendiri selama satu jam, di ruang khusus bertatap muka dengannya, untuk wawancara langsung dan wejangan. Sesudah itu tamatan kursus diizinkan membuak praktek sendiri. Pada saat wejangan terakhir, pembicaraan mengarah pada hal – hal kemanusiaan, penyembuhan dan hal – hal yang bersifat Spiritual. Penerangan lampu kamar diatur. Kadang – kadang terang, remang – remang, gelap, sorot lampu dan terang lagi, sesuai dengan alur pembicaraan. Ilmu puncak diberikan secara lesan, pribadi dan rahasia. Konsentrasi penuh, mantra dilafalkan dan sekaligus harus hafal. Mantra itu berbahasa ………. JAWA.   Sang Guru  Besar tidak mau mendiskusikan soal mantra itu. Dari mana, dari siapa, sejak kapan dan kenapa berbahasa …………JAWA.  “Adanya begitu, pakailah untuk menolong sesama”.
              5.   Dalam sarasehan Yayasan “Raket Prasaja” pada tanggal 2 Mei 2005 di Karang Ploso, Malang. Disana hadir pula anggota Yayasan “Raket Prasaja” yang dinas di balai penelitian tanaman pangan  dan ada juga yang dinas menjadi PPL pertanian, serta ada anggota yang berlatar belakang petani, pedagang, PNS, dll.  Dalam sarasehan tersebut ada kesimpulan dari sebuah kajian tentang tanaman padi. Pada tahun 1970-an, pemakaian pupuk Urea setengah dipaksakan oleh pemerintah, karena petani enggan menggunakan pupuk Urea, kalaupun toh memakai itupun sifatnya hanya merupakan suplemen. Sehingga di masa itu 1 hektare sawah cukup membutuhkan 50 Kg pupuk Urea sedangkan produktifitasnya berkisar 8 – 10 ton per hektar. Sehingga pada tahun 70-an – 80-an kita mengalami Swasembada.  Sementara saat ini 1 hektare sawah membutuhkan 600 Kg pupuk Urea, dan sifatnya bukan lagi sebagai suplemen tapi merupakan kebutuhan pokok. Bila kita cermati disini ada semacam politik penggiringan pola pikir petani agar ada ketergantungan terhadap pupuk dan obat – obatan pertanian, sehingga bertambah tahun bertambah konsumsinya. Sedangkan produktifitasnya saat ini per hektare sawah hanya menghasilkan 4 – 6 ton padi, sehingga akhir –akhir ini kita mengalami kekurangan beras dan terpaksa harus import. Hal ini kalau di biarkan, kasihan petani kita akan semakin sengsara dan akan terus memperkaya kapitalis. Selain itu, pertanian kita akan hancur, dan jalan keluarnya dari masalah tersebut adalah teknologi pertanian dalam budaya Jawa. Mulai pengelolaan tanah, pemilihan hari masa tanam, perlindungan hama, dll.  Semua memakai system dan teknologi pertanian dalam budaya Jawa, kita hanya sedikit mengembangkan dan menyelaraskan dengan situasi dan kondisi. Hal ini nampaknya sudah dikaji dan di kembangkan oleh sebuah lembaga di Amerika Serikat bernama Velunteers in Technical Asistence (VITA), dalam penelitiannya disebutkan “satu karung pupuk kimia dicampur pupuk organik (bersifat suplemen) lebih bagus dari pada 3 – 4 karung pupuk kimia (bersifat kebutuhan pokok) tanpa dicampur pupur organik”. Fakta ini juga diperkuat oleh cerita kesaksian dari Soleh Adi Pramono seorang seniman dari Tumpang, Malang yang beristrikan Karen Elisabet yang berasal dari Amerika Serikat. Suatu ketika sedang berkunjung ke Mertuanya di Amerika Serikat, disana melihat (disuguhi) berbagai beras Jawa seperti Raja Lele dan Mentik wangi, sedangkan jenis padi Jawa tersebut sekarang sudah sulit kita temukan disini.
              6.   Dan masih banyak lagi ilmu pengetahuan dan teknologi budaya Jawa yang kita terlantarkan akhirnya ditemukan serta dikembangkan orang (bangsa) lain. Sementara itu diakui atau tidak, beberapa  budaya yang kita tiru dari bangsa lain, setelah diterapkan menyisakan berbagai permasalahan yang tidak kunjung selesai, seperti : demokrasi, emansipasi wanita, dll.

              VI.     KESIMPULAN
              Kalau kita semua dalam berfikir tentang bahasa dan budaya jawa yang selama ini, bisa dikatakan sangat sederhana, mari mulai sekarang kita ubah cara pandang tersebut. Setelah kita semua memahami, kalau didalam budaya Jawa banyak terdapat ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa di kembangkan untuk kemaslahatan orang banyak, pastilah kita akan berusaha untuk mempelajari bahasa jawa. Karena bahasa Jawa merupakan pintu untuk memasuki atau membuka sebuah “Rumah Besar” yang disebut budaya Jawa tersebut. Setelah cara pandang kita terhadap budaya Jawa lebih komprehensif, pastilah yang kita dapat tidak hanya sebuah pengakuan kearifan lokal atau lokal genius tapi akan ada pengakuan global genius.
              Sekarang bagaimana kita mau meningkatkan pemahaman dan pemikiran tentang bahasa Jawa di masyarakat umum, padahal saat ini banyak diantara kita yang sudah tidak mampu lagi memakai dan menuturkan bahasa Jawa yang baik dan benar. Barangkali cara ini bisa dipakai :

              • Cara pandang terhadap bahasa atau budaya lebih komperhensif.
              • Tidak negative thingking terhadap bahasa/ budaya Jawa.
              • Pengakuan global genius, sehingga mempelajari bahasa / budaya Jawa merupakan suatu hal yang penting dan membanggakan.
              • Ada kesadaran penuh, bila mau mempelajari bahasa/ budaya bangsa lain, kita harus mampu menguasai bahasa/ budaya sendiri terlebih dahulu.

              Sehingga bahasa / budaya asing hanya melengkapi apa yang kita tidak punya, tetapi tidak mengubah warna dari budaya kita .
              Semoga setelah ini, “Bahasa Jawa Tidak Lagi Menangis Di Simpang Jalan”, karena para penuturnya sudah menemukan  jati diri atau jalan yang tepat kemana harus melangkah dan menentukan pilihan.
              Selain beberapa langkah tersebut diatas, ada cara lain untuk mempelajari bahasa Jawa, khususnya untuk para pemula, yaitu :

              • Penyederhanaan “Undho -  Usuk” bahasa Jawa, karena selama ini banyak generasi muda enggan mempelajari dan memakai bahasa Jawa dengan alasan ruwet disebabkan banyaknya tingkatan (Undho – usuk) dalam bahasa Jawa. Barangkali untuk tingkat pemula cukup dengn istilah “krama andap dan krama inggil”. Contoh :
                • Krama Andap : nyaosi, nyuwun, nyuwun priksa.
                • Krama inggil : maringi, mundhut, ndhangu.

              Sedangkan dalam pemakaiannya krama andap untuk diri sendiri dan krama inggil untuk lawan bicara terutama orang yang dihormati.

              • Bahasa Janesia : kata Janesia adalah perpanjangan dari kata Jawa- Indonesia, mengenai bahasa Janesia mohon maaf tidak saya tulis secara rinci, karena keterbatasan tempat (max 20 hal), barangkali dilain kesempatan . Tetapi pada dasarnya bahasa Janesia hampir sama dengan bahasa Jawa Modern, tetapi ada beberapa prinsip pokok antara lain :
                • Kata kerja memakai bahasa jawa, krama andhap atau krama inggil.
                • Kandungan falsafah  cukup dominant.

              Akhir kata, penulis sangat menyadari akan berbagai keterbatasan, sehingga mohon sumbang – saran serta mari kita berjuang – bangkit bersama menggali, mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa demi kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa kita. Amien

              Malang,   Desember 2005

              Posted under: Artikel

              Leave a Reply

              Your email address will not be published. Required fields are marked *

              You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong> <font color="" face="" size=""> <span style="">